PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI DALAM ISLAM
Rahmawati Latief
Seorang laki-laki
menghadap ke Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam
“Wahai Rasulullah, aku ingin Islam tetapi aku tidak bisa
meninggalkan zina”
“Relakah bila ibu kamu dizinai? tanya Rasulullah dengan
lembut
Lelaki itu menjawab “Tidak”
“Lalu relakah bila putri kamu dizinai? tanya Rasulullah
kembali
Lelaki itu mengulang jawaban yang sama “Tidak”
“Dan relakah bila bibi kamu dizinai? sapa Rasulullah kembali
Lelaki itu kembali menjawab “Tidak”.
Akhirnya Rasulullah bersabda “Bagaimana orang lain akan
rela, padahal kamu sendiri tidak rela dengan hal itu?”.
Seketika itu juga pemuda yang bertanya tadi membayangkan
sikap orang-orang ketika kerabat mereka dizinai, seperti sikapnya ketika kerabat
wanitanya dizinai. Semangat ke-Islaman mulai menyeruak di dalam dada dan
akhirnya dia berkata “Aku bertaubat kepada Allah dari perbuatan zina”. [1]
Perbincangan di atas
disaksikan oleh para sahabat Rasulullah, dan beberapa di antara mereka sempat
terpancing emosi karena mereka merasa kesal dengan pertanyaan pemuda tersebut
yang dianggap bertendensi hawa nafsu, tetapi Rasulullah adalah ahli komunikator
terbaik yang dimiliki oleh ummat Islam, panduan uswatun hasanah yang penuh
kasih sayang dan keteladanan. Pertanyaan pemuda tersebut ditanggapi dengan
berbagai pertanyaan retoris yang mampu membangkitkan kesadaran seorang pemuda
yang gemar berzina untuk bertaubat kepada Allah subhanahuwataala. Beliau tidak
perlu meninggikan suara, marah tanpa terkontrol, atau menunjukkan kekesalan
dengan wajah yang merah padam dan genggaman kepalan tangan, dan ia pun tidak
perlu menyampaikan dalil-dalil haramnya perbuatan zina secara eksplisit, namun
Rasulullah mengemas pesan secara bijak dengan menyentuh hati pemuda tersebut
agar nilai-nilai Islam tersampaikan secara baik. Retorika Rasulullah di
sampaikan dengan cara sederhana, tidak menggurui, cerdas, jujur, dan menggugah.
Retorika yang muncul dari pancaran kepribadian yang mempesona, yang istiqomah
perkataan dan perbuatannya.
Rasulullah menerapkan
seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Quran secara konsisten sehingga
tidak mengherankan kalau peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah
bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya
sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah
perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan
ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran
Islam dengan baik yang didukung oleh kemuliaan budi pekerti. [2] Dengan
demikian, strategi berkomunikasi yang benar mestilah merujuk kepada strategi
Rasulullah dalam berkomunikasi.
Al-Quran sebagai
pedoman hidup manusia telah mengatur prinsip-prinsip berkomunikasi yang baik
dengan cara melakukan komunikasi yang baik, jujur, benar, penuh lemah lembut,
dan membekas dalam jiwa agar ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dengan baik
oleh ummat. Perintah komunikasi melibatkan unsur komunikator, pesan, media,
komunikan, efek agar komunikasi dapat berjalan efektif. Efektif maksudnya bahwa
pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat dipahami oleh komunikan sehingga
menimbulkan efek yang signifikan terhadap komunikan. Di dalam Al-Quran tidak
dijelaskan secara eksplisit tentang pengertian komunikasi tetapi
prinsip-prinsip komunikasi yang efektif dijelaskan melalui beberapa term dalam
beberapa surah seperti Qaulan Balighan (QS 4:63), Qaulan Maisuran (QS 17:28),
Qaulan Kariman (QS 17:23), Qaulan Ma’rufan (QS 2:235, 4:5&8, 33:32), Qaulan
Layyinan (QS 20:44), Qaulan Sadidan (QS 4:9. 33:70). [3] Prinsip-prinsip ini
tidak hanya digunakan dalam kegiatan dakwah tetapi seluruh aspek kehidupan
manusia yang menggunakan kegiatan komunikasi.
Prinsip-Prinsip Komunikasi
Ada beberapa prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam yang
akan dijelaskan berikut ini:
1. Qaulan Balighan
Di dalam term al-Quran, term Qaulan Balighan disebut hanya
sekali dalam surah An-Nisa: 63.
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah
mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
membekas pada jiwanya.”
Term baligh yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli
bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau sampainya
mengenai sasaran atau tujuan, juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifayah),
sehingga perkataan yang baligh adalah perkataan yang membekas dan merasuk dalam
jiwa manusia. [4]
Dilihat dari definisi di atas, maka pemahaman tentang
balighan termasuk dalam kategori prinsip komunikasi yang efektif. Pesan harus
disampaikan mengenai sasaran dengan metode yang tepat. Khutbah-khutbah
Rasulullah yang disampaikan secara singkat, tapi padat makna dengan mimik wajah
yang serius dan diksi yang menyentuh hati para pendengarnya adalah salah satu
contoh penggunaan qaulan balighan.
2. Qaulan Maisuran
Term ini hanya ditemukan sekali saja dalam surah Al-Isra
ayat 28.
“Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan
yang lemah lembut.”
Pada prinsipnya, qaulan maisuran adalah segala bentuk
perkataan yang baik, lemah lembut, dan melegakan. [5] Ada juga yang menjelaskan
bahwa qaulan maisuran adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, lemah
lembut, dan tidak mengada-ada. Ada juga yang berpendapat sama dengan pengertian
qaulan ma’rufan. Artinya perkataan yang maisur, adalah ucapan yang wajar dan
sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. [6]
Ucapan yang lemah lembut adalah perisai seorang muslim dalam
berkomunikasi. Meskipun konflik perbedaan pendapat semakin panas tetapi kalau
metode penyampaian dapat dilakukan secara lemah lembut biasanya debat yang
terjadi akan terkontrol, namun perkataan lemah lembut ini tidak muncul begitu
saja melainkan harus dilatih dan diiringi dengan budi pekerti yang baik.
3. Qaulan Kariman
Term ini ditemukan dalam al-Quran hanya sekali saja dalam
surah Al-Isra ayat 23.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya dengan
perkataan yang baik.”
Pemahaman ayat di atas memberikan petunjuk untuk berbuat
baik kepada orang tua khususnya lagi kepada orang tua yang sudah berusia lanjut
untuk tidak mengatakan “ah”, tidak membentak keduanya, dan diperintahkan
mengucapkan perkataan yang baik atau qaulan kariman kepada mereka.
Dalam hal ini, al-Quran menggunakan term karim yang secara
kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya
Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada
manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya,
seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan
terlihat dalam kesehariannya. [7] Namun, jika term karim dirangkai dengan kata
qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain
tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain
tanpa bermaksud merendahkan. [8]
4. Qaulan Ma’rufan
Di dalam al-Quran term ini disebut empat kali, pertama dalam
surah Al-Baqarah ayat 235.
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu
membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kata-kata yang baik…”
Kedua, dalam surah An-Nisa ayat 5
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. “
Ketiga, dalam surah An-Nisa ayat 8
“Dan apabila waktu pembagian itu hadir beberapa kerabat,
anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Keempat, dalam surah al-Ahzab ayat 32
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
(melemahlembutkan suara), dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”.
Menurut A. Husnul Hakim IMZI (2008), kata ma’ruf di dalam
al-Quran terdapat sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut :
a. Terkait dengan masalah tebusan dalam masalah pembunuhan,
setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiat.
b. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, ‘iddah,
pergaulan suami isteri.
c. Terkait dengan dakwah.
d. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim.
e. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan.
f. Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut al-Ishfahani, term ma’ruf menyangkut segala bentuk
perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara. [9] Dalam beberapa konteks
al-Razi juga menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik,
menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap
bodoh. [10] Perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau
membantu. [11] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai
perkataan yang baik. [12]
5. Qaulan Layyinan
Di dalam al-Quran term Qaulan Layyinan hanya ditemukan
sekali saja dalam surah Thaha ayat 44.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada
mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam
untuk menunjukkan perkataan yang lembut. [13] Sementara yang dimaksud dengan
qaulan layyinan adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian
contoh di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang
disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan
pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian,
qaulan layyinan adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah
mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.
[14]
6. Qaulan Sadidan
Di dalam al-Quran term qaulan sadidan disebutkan dua kali.
Pertama dalam surah An-Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Kedua, dalam surah Al-Ahzab ayat 70
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Berkaitan dengan perkataan qaulan sadidan, ada banyak
penafsiran, antara lain perkataan yang jujur dan tepat sasaran [15], perkataan
yang lembut dan mengandung kemuliaan bagi pihak yang lain [16], pembicaraan
yang tepat sasaran dan logis [17], perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain
[18], perkataan yang memiliki kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa
yang di dalam hatinya [19]
Realitas dan Solusi
Dari uraian di atas jelas terlihat prinsip-prinsip
komunikasi dalam Islam yang sumbernya berasal dari al-Quran mengajarkan kita
berkomunikasi secara jujur, benar, rasional, lemah lembut, tidak menyakiti
perasaan orang lain, tidak memandang rendah orang lain, tidak munafik, padat
makna dan tepat sasaran, istiqomah antara ucapan, hati dan perbuatan,
pernyataan membekas dalam jiwa, ajakan berbuat kebaikan, tidak mengada-ada dan
komunikasi yang membawa kebaikan dan manfaat kepada orang lain.
Namun secara realitas
prinsip-prinsip ini belum terlaksana dengan baik dalam kehidupan manusia. Dalam
konteks kegiatan dakwah, para da’i dan aktivis masih banyak menggunakan metode
komunikasi koersif atau memaksa kepada mad’unya atau objek dakwah dalam
melaksanakan perintah Allah, pesan yang disampaikan sesuai dengan al-Quran dan
as-Sunnah tetapi menggunakan cara yang kurang simpatik, sehingga sebahagian
para jamaah meninggalkan acara-acara pegajian atau sebahagian para jamaah
mengatakan bahwa isi dakwah hanya berbicara tentang surga dan neraka saja.
Kadang-kadang hal ini juga temukan dalam dakwah yang dilakukan di dalam rumah,
para pemuda-pemudi Muslim yang baru saja mendapatkan ilmu agama dari para
ustadz-ustadzahnya menyampaikan ilmunya dengan cara yang melukai hati orang tua
atau para kerabat. Mereka menganggap bahwa kebenaran itu wajib disampaikan
meskipun pahit. Tentunya tidak ada yang salah dengan pesan yang disampaikan
tetapi metode yang tidak bijak dapat menimbulkan persoalan yang baru. Keluarga
bisa semakin jauh dengan dakwah yang kita lakukan.
Dalam dunia pendidikan, ini pun banyak terjadi, pendidik
menyampaikan ilmu kepada siswa atau mahasiswa dengan menggunakan pendekatan dan
komunikasi yang kaku, alergi terhadap kritik dari anak didik, menganggap
dirinya (pendidik) adalah satu-satunya sumber kebenaran, padahal ilmu itu dapat
berkembang melalui adu kritik yang cerdas, sehat dan terkontrol. Di dalam
pergaulan sehari-hari, kita masih sangat sering menemukan percekcokan yang
bermuara kepada tingkat kriminal yang serius (misalnya: pembunuhan, penikaman,
pembakaran, perkelahian massal) karena kata-kata kasar yang tidak dipikirkan
atau karena hal-hal yang sepele tetapi tidak diiringi oleh permintaan maaf.
Penulis pernah melihat kejadian nyata di jalan Jatiwaringin, Jakarta Timur,
ketika sopir mikrolet menyenggol secara tidak sengaja sebuah mobil yang
dikendarai oleh seorang pilot yang akan bergegas ke bandara, dengan kata-kata
kasar penuh amarah sang pilot memaki-maki sang sopir. Saya hanya trenyuh
melihat kejadian seperti ini. Persoalan sepele dapat menjadi pemicu keluarnya
kata-kata kasar yang melukai.
Dalam dunia keluarga, komunikasi yang tidak Islami masih
sangat sering terjadi, seorang ibu memaki-maki anak yang berusia 2 tahun karena
menumpahkan semangkok bakso di atas karpet ruang tamu, padahal anak yang
berusia 2 tahun itu belum bisa bernalar dengan baik. Atau seorang suami yang
memarahi isterinya dengan kata penuh celaan karena terlambat menyajikan makanan
tepat waktu. Atau sebaliknya seorang isteri mengucapkan kata-kasar kepada suami
karena memberikan nafkah yang tidak cukup kepadanya. Atau seorang kakak yang
cekcok kepada adiknya karena menggunakan motor kesayangannya tanpa seizinnya.
Ketidakharmonisan komunikasi dalam keluarga ini sangat sering terjadi, padahal
yang kita sakiti adalah orang-orang yang kita cintai atas nama Allah.
Semestinya penerapan komunikasi yang Islami dan baik mestilah berawal dari
rumah karena rumah adalah sekolah pertama untuk berkomunikasi dengan penuh
kasih sayang bagi penghuninya sebelum mereka keluar dan melakukan interaksi
dengan komunitas yang lain.
Hal ini juga semakin diperburuk oleh tayangan dalam
sebahagian besar televisi yang sering mempertontonkan dialog-dialog kasar dalam
beberapa program TV. Dialog tersebut bisa berbentuk kata-kata ejekan, celaan
yang merendahkan kaum minoritas seperti orang-orang cacat dan pembantu atau
perkataan yang mengeksploitasi unsur-unsur seksual terhadap perempuan atau
perkataan yang tidak santun terhadap orang tua, guru dan kerabat yang
seharusnya kita hormati. Tragisnya tayangan-tayangan ini dinikmati oleh anggota
keluarga kita tanpa disadari bahwa televisi dapat menjadi ‘guru’ dalam
membentuk model komunikasi yang buruk.
Solusi untuk semua ini, mestilah berawal dari kesadaran
bahwa setiap apa yang kita ucapkan dalam bentuk perkataan akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahuwataala di hari akhirat kelak. Hal
ini jelas dalam firman-Nya, surah An-Nur: 24 “Pada hari, (ketika) lidah, tangan
dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka
kerjakan.” Dengan kesadaran seperti ini, tentunya akan berfungsi sebagai alat
kontrol setiap perkataan yang akan kita ucapkan. Kedua, belajar untuk melatih
diri berkomunikasi secara baik terhadap orang tua, kerabat, guru, tetangga,
kolega dan sesama manusia. Sebab komunikasi yang baik akan muncul dari
kebiasaan yang baik. Ketiga, memperkecil mudharat dari komunikasi negatif yang
kita lakukan. Misalnya menahan mengucapkan perkataan kasar ketika sedang marah.
Tidak menyindir terlalu berlebihan ketika sedang kesal terhadap seseorang.
Keempat, berdoa agar terhindar dari ucapan yang buruk dan dosa-dosa lisan.
Dengan demikian, dunia ini akan semakin damai dengan penerapan prinsip-prinsip
komunikasi yang Islami. Semoga.
Glugor, P.Penang,
13022010
(Penulis adalah alumni of Media and Communication Studies
(MENTION), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pernah mengajar di FISIP Ilmu
Komunikasi Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, kini menetap bersama suami di
Pulau Penang, Malaysia ).
Catatan Kaki :
[1].
http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=288&Itemid=193
[2]. A. Husnul Hakim, IMZI, Prinsip-Prinsip Komunikasi dalam
Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir
Tematik.http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34
[3].
http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=288&Itemid=193
dan
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34
[4]. Ibn ‘Asyur al-Tahrir, jilid 4, h.978
[5]. Al-Qurthubi, al-jami, jilid 10, h.107
[6]. Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 20, h.155
[7].Al-Ishfahani, al-Mufradat, pada term karama, h.428
[8].Al-Ishfahani, al-Mufradat h. 429
[9].Al-Ishfahani, al-Mufradat, pada term ‘Arafa, h.331
[10].Al-Razi, Mafatih, jilid 9, hal. 152
[11].Al-Razi, Mafatih, jilid 9 hal. 161
[12].Al-Razi, Mafatih, jilid 25 hal.180
[13].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir, jilid 16, hal. 225
[14].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir, jilid 16, hal. 225
[15].Al-Razi, Mafatih, juz 9, hal 199
[16].Al-Razi, Mafatih, juz 9, hal 99. Mengutip dari al-Zamakhsyari
[17].Rasyid Ridha, al-Manar, jilid 4, h.327
[18].Al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, jilid 4, hal 2021
[19].Ibn ‘Asyur, al-Tahrir jilid 14, h.3403
Catatan kaki no [4] hingga [19] dikutip dalam tulisan di web
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34
http://ummhani.blogspot.com/2010_02_01_archive.html
PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI DALAM AL-QUR`AN: Suatu Kajian
Tafsir Tematik | Print |
Saturday, 10 May 2008
Oleh A. Husnul Hakim IMZI - Dosen Fak. Ushuluddin Institut
PTIQ Jakarta
Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti
konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digambarkan, hubungan
sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati
di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat
sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam
mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan
keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai
bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip
komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan ini mencoba menjelaskan
tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil inspirasi dari al-Qur’an,
bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa modern dewasa ini sebagai
landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan
mencerahkan.
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial,
yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan
peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan
sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal
ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus
dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan.
Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas
―walaupun ayatnya adalah madaniyah― menunjukkan bahwa saling mengenal yang
dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan
ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling
mengenal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya,
maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat
penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan
kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya.
Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه
البيان “mengajarnya
pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan
dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq,
al-kalām).[1] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup
isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan
demikian, al-bayān merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia
dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatan.[2]
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi.
Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia.
Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur
manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat
membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih
sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi,
dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan
permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat
pemikiran.[3]
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan
komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan
ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu
yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya,
sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari
bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan
pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif
sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah
dilakukan seseorang.[4]
Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم
Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[5] Dari pernyataan ini dapat
dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan
berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak.
Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah
informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin
Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek
isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan
karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang
bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur
hubungan sosial di antara komunikan.[6]
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis
antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang
beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi
di mana sang komunikator akan menghargai
apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari
perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu,
tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta
bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya
yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya
menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri
tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini,
bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[7]
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan
tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an
tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi'
berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang
berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan
komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan
paham terhadap apa yang dipercakapkan.[8]
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur,
yaitu komunikator, media dan komunikan.[9]
Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi
tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham,
tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi
yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan
menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan
hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan
pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public
attitude).[10]
Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan
masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan
gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk
kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari
prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan
maisuran, qaulan kariman, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan,
juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.
a. Prinsip Qaul
baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali,
yaitu surah an-Nisa': 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة
بما قدمت أيديهم ثم
جاءوك يحلفون بالله إن
أردنا إلا إحسانا وتوفيقا,
أولئك الذين يعلم الله
ما فى قلوبهم فأعرض
عنهم و عظهم و
قل لهم فى أنفسهم
قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa
mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka
datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali
tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.” Mereka itu adalah orang-orang
yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum
munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski
mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata
hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka
secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup
memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan
turunnya siksa Allah,[11] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang
baligh.
Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli
bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai
dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan
yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[12] Sementara menurut al-Ishfahani,[13]
bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat,
sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran.
Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si
pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar
agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh
Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap
balīgh, antara lain:[14]
Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga
pengertiannya menjadi kabur
Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
Kesesuaian dengan tata bahasa.
b. Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu
surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا
تعبدوا إلا إياه و
بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك
الكبر احدهما او كلاهما
فلا تقل لهما اف
ولا تنهرهما و قل
لهما قولا كريما (الاسراء/17:
23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah
yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti
kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat
umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni
sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya
semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang
menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat
ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang
salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling
dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter
bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan:
عن أبى هريرة عن
النبى صلى الله عليه
وسلم قال رغم أنف
ثم رغم أنف ثم
رغم انف: رجل ادرك
أحد أبويه او كلاهما
عنده الكبر لم يدخل
الجنة (رواه أحمد)
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda,
"Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang
tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad)
Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk
bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua
orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia
lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan
berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha
Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu
menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan
dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam
kesehariannya.[15]
Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau
perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam
kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud
merendahkan.[16] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm,
dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan
yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia
berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan
dihormati.[17] Ibn 'Asyur menyatakan
bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat
dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang
anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan
santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung
perasaannya.[18] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal
lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
c. Prinsip Qaul
Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah
al-Isra'/17: 28:
و إما تعرضن عنهم
ابتغاء رحمة من ربك
ترجوها فقل لهم قولاميسورا
(الاسراء/17: 28)
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan
yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan
kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya,
sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal
yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena
berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya
dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan
perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[19]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi
atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan
perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul
maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan.[20] Ada
juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat
baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan
qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya,
perkataan yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai
perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[21]
d. Prinsip Qaul
ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali,
yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam
Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita
yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan
8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak
yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33:
32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali,
yang bisa diperinci sebagai berikut
Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan
pemaafan terkait dengan wasiyat
Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan
suami-istri
Terkait dengan dakwah
Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk
perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[25] Dari sinilah kemudian
muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika
akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul,
maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga
hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga
orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar
berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat,
karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan
membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan
terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah.
Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak
ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa
'iddahnya, menasehati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu
pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah
perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[26]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul
ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang
diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[27] perkataan yang
mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[28] Perkataan
yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[29]
e. Prinsip Qaul
layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/
20: 44:
اذهبا الى فرعون انه
طغى. فقولا له قولا
لينا لعله يتذكر او
يخشى (طه/20: 43-44)
“Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu
berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan
dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika
diperintahkan untuk menghadapi Fir'aun,
yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal
makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk
menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk
menunjukkan perkataan yang lembut.[30] Sementara yang dimaksud dengan qaul
layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di
mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan
adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau
pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin
adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak
orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[31]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa
harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut
al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung
kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi
setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah
berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu
cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan
dirasa tidak menghormatinya.[33]
f. Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama,
Q.s. an-Nisa'/4: 9:
وليخش الذين لو تركوا
من خلفهم ذرية ضعافا
خافوا عليهم فليتقوا الله
و ليقولوا قولا
سديدا (النساء/4: 9)
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
sekiranya mereka meninggalkan keturunan
yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka
berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal
bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya
masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus
disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd.
Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak
atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib
anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada
setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan
sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang
lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
يايهاالذين
امنوا اتقوا الله و
قولوا قولا سديدا (الاحزاب/33:
70)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman.
Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan
perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi
yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang.
Sementara berkaitan dengan qaul sadid,
terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran.[35]
perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain,[36] pembicaraan
yang tepat sasaran dan logis,[37] perkataan yang tidak menyakitkan pihak
lain,[38] perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa
yang ada di dalam hatinya.[39]
g. Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s.
al-Hajj: 30:
ذلك ومن يعظم حرمات
الله فهو خير له
عند ربه, و احلت
لكم الانعام الا ما
يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس
من الاوثان و اجتنبوا
قول الزور (الحج/22: 30)
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa
mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik
baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali
yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan)
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22:
30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan
masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi
syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki
dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan
dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama
mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il).
Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang
semestinya atau yang dituju.[40] Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan
yang halal atau sebaliknya; serta saksi
palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi
palsu itu sebanding syirik.[41] Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung
ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu
dosa besar,[42] bahkan termasuk tindak pidana.[43]
Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah
komunikator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur
ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara
lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من
المادة "Cara lebih penting dari pada isi".
Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu
ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang,
atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan
melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara
materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim
harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini,
yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali
meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud
menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan,
"Pak…apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak
pernah shalat sih…". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang
disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya
sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu
disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari
komunikasi yang tidak beradab.
Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya,
merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan
sosial dengan komunikannya atau bermetakomunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya
akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi
kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan
rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu…"(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun,
secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi
orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk
membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan
santun, serta bertutur kata yang baik.[44]
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah
Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah
Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di
atas memang bisa dipahami secara berbalik,
pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersikap lemah
lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu kenyataan bahwa
Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum
turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis
lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa
rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah
tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk
mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai
bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata,
"Ini merupakan akhlaq Rasulullah
saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya.[45] Sebagaimana yang kita
ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu
pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah
berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama
sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas
yang tinggi di kalangan masyarakat.[46] Sedangkan sebagai pemimpin negara,
beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik
kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan
kepada umatnya bahwa kemampuan bermetakomunikasi secara tepat bukan saja untuk
berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri
sendiri dan orang lain.
Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Komunikasi dan
Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih
ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan
karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di
dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari
rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong
dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.
Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah
bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat
komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu
segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara
yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang
wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda
ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan
generasi yang berkaraker. Misalnya, pada
saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang
di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesuaian antara apa
yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.
Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami
sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus
ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator,
untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi.
Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa
meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan
terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis
kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq.
Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan
guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan
membangun komunikasi yang beradab tersebut.
b. Komunikasi dan
Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan
pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu
kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh
karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat ini, seharusnya
menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan
yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata
bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, keluhuran akhlak si
komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial
maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk
menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta
bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan
karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan
lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai
alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi
ambisinya, melanggengkan pengaruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat
pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku
tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…"Melalui kata-katanya ini Fir'aun
ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan
sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat
kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang
diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya
seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan
seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa
tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
c. Komunikasi dan
Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa
yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan
bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis.
Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai
da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran
Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam,
justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam
itu sendiri.
Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara
kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat
tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim,
agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini
mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari
sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan',
namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang
bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan
lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal.
Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi
agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya
kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan
sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus
memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku
anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus
senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus
memberi keteladanan.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang
luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu.
Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial
yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan,
betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau
pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw
sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan
dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang
tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan
al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan
dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan
beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan
persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita
telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah
menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana
diuraikan, secara konsisten.
Catatan Akhir
[1] Lihat, antara lain, al-Thabari, Jami' al-Bayān, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1988), jilid 13, juz 27, h.
114-115, al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Rasyad, tt.), jilid
3, h. 415, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf.
[2] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid
17, h. 4243
[3] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h.
Kata Pengantar.
[4] James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang
Efektif, terjemahan Turman Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3
[5] Lihat al-Sakhawi,
al-Maqāshid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1986), h. 319
[6]Jalaluddin Rahmat dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan
oleh Yayasan al-Muthahhari, Bandung, halaman iftitah.
[7] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1992), cet. ke-4, h. 63.
[8] Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 9
[9] YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta,
GRASINDO, 1998), h. 69.
[10] Onong Uchana, Ilmu Komunikasi, h. 10
[11] Al-Thabari, Jāmi' al-Bayān, jilid 5, h. 153.
[12] Ibn 'Asyur, al-Tahrir, jilid 4, h. 978.
[13] Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, (Beirut:
Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term
balagha, h. 60.
[14] Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468.
[15] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term karama, h. 428.
[16] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 429.
[17] Sayyid Quthb, Fī
Zhilāl al-Qur'ān, juz 13, h. 318.
[18] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 15, h. 70
19]] Al-Qurthubi, Al-Jāmi' li ahkām Al-Qur'ān, jilid 10, h.
107
[20] Al-Qurthubi, al-Jāmi', jilid 10, h. 107.
[21] Al-Razi, Mafātīh al-Ghaīb, jilid 20, h. 155.
[25] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term 'arafa, h. 331.
[26] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 4, h. 252 dan al-Sya'rawi,
Tafsīr al-Sya'rawi, jilid 4: 2016
[27] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 152.
[28] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 161.
[29] Al-Razi,
Mafātīh, jilid 25, h. 180.
[30] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 16, h. 225
[31] Ibn 'Asyur,
al-Tahrīr, jilid 16, h. 225
[32] Sayyid Quthb, Fī Zhilāl, juz 13, h. 474.
[33] Al-Razi, Mafātīh, jilid 22, h. 51.
[34] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 14, h. 3402.
[35] Al-Razi, Mafātīh, juz 9, h. 199.
[36]Al-Razi, Mafātīh, juz 9, h. 199. mengutip dari al-Zamakhsyari
[37] Rasyid Ridha, al-Manār, jilid 4, h. 327
[38] Al-Sya'rawi, Tafsir al-Sya`rāwī, jilid 4, h. 2021.
[39] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 14, h. 3403.
[40] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 217.
[41] Al-Razi, Mafātīh, jilid 23, h. 17 dan Al-Thabari,
Jami', jilid 10, juz 17, h. 154.
[42] Dalam sebuah hadis dinyatakan, sebagaimana yang dikutip
oleh al-Qurthubi: إن من أكبر
الكبائر الإشراك بالله وعقوق
الوالدين وشهادة الزور وقول
الزور
[43] Al-Qurthubi, al-Jāmi', jilid12, h. 24.
[44] Al-Shabuni, Mukhtashar..., jilid I, h. 331.
[45] Al-Shabuni, Mukhtashar..., jilid I, h. 331
[46] Bisa dilihat pada peristiwa yang melatarbelakangi
turunnya surah al-Lahab, (lihat Al-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn katsir, jilid
3, h. 689 dan Al-Thabari, Jami' al-Bayan, juz 30, jilid 15, h. 336 http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=34
Komunikasi Dalam Islam
Friday, 12 February
2010 10:18
Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti
konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digambarkan, hubungan
sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati
di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat
sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah Saw dalam
melakukan komunikasi ajaran-ajaran Ilahiah dengan baik yang ditopang dengan
keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Rasulullah Saw, akan
dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh
prinsip-prinsip komunikasi dalam Al-Qur'an secara konsisten.
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi.
Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia.
Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur
manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat
membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih
sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi,
dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, meng¬hidupkan
permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat
pemikiran.
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan
komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan
ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu
yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya,
sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari
bahwa dirinya sebenarnya berkeku¬rangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan
pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif
sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah
dilakukan seseorang.
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam Al-Qur'an
Meskipun Al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan
masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan
gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk
kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari
prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan
maisuran, qaulan kariman, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan,
juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.
a. Prinsip Qaulan
balighan
Di dalam al-Qur'an term qaulan baligha hanya disebutkan
sekali, yaitu surat An-Nisaa:
Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik)
ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian
mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, Kami sekali-kali
tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang
sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka. (QS An-Nisaa 4 : 62-63)
Ayat ini memberikan informasi tentang kebusukan hati kaum
munafik, bahwa mereka tidak akan pernah mengikuti tuntunan Rasulullah saw,
meski mereka bersumpah atas nama Allah bahwa apa yang mereka lakukan
semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, Rasulullah Saw dilarang
menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”). Akan
tetapi, cukup mem¬beri nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruk mereka
akan mengakibatkan turunnya siksa Allah, dan berkata kepada mereka dengan
perkataan yang baligh.
Term baligh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli
bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai
dengan “cukup” (al-kifayah). Sehingga perkataan yang baligh adalah perkataan
yang merasuk dan membekas dalam jiwa.
Sementara menurut al-Ishfahani dalam buku Al-Mufradat fi
Gharib Al-Qur'an, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani, bahwa perkataan
tersebut me¬ngan¬dung tiga unsur utama, yaitu (1) bahasanya tepat sesuai
kondisi lawan bicara (2) substansinya sesuai dengan yang dikehendaki (jelas),
dan (3) isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term baligh dalam
konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja
hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh
pihak yang diajak bicara.
b. Prinsip Qaulan
kariman
Term ini ditemukan di dalam Al-Qur'an hanya sekali, yaitu
surat Al-Isra: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (QS Al Isra 17: 23)
Ayat tersebut memberikan informasi bahwa ada dua ketetapan
Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti
kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat
umum, karena setiap manusia pasti menyan¬dang dua predikat ini sekaligus, yakni
sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya
semata; dan anak dari kedua orang tuanya.
Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara
kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua
pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu
fungsinya adalah menggabung¬kan dua pernyataan yang tidak bisa saling
dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter
bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan: Dari Abu Hurairah r.a., dari
Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3x, seseorang yang menemukan salah satu
atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga” (HR. Ahmad)
Berkaitan dengan inilah, Al-Qur'an memberikan petunjuk
bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua
orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia
lanjut.
Dalam hal ini, Al-Qur'an menggunakan term karim, yang secara
kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya,
Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Mulia; juga bisa disandarkan kepada
manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya,
sese¬orang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan
terlihat dalam kesehariannya.
Namun, jika term karim dirangkai dengan kata qaulan atau
perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam
kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud
merendahkan.
Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang
karim, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah
tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni,
bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan
dihormati. Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaulan karima adalah perkataan yang
tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh
yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang
salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui,
apalagi sampai menyinggung perasaannya.Qaulan karima, adalah setiap perkataan
yang lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
Dalam konteks dan kondisi yang berbeda untuk kedua hal
diatas, Al Qur’an mengajarkan kepada kita substansi dan metode komunikasi yang
berbeda. Sekali lagi tetap dalam bingkai tujuan komunikasi yang efektif dan
bermanfaat. Bagaimana kualitas komunikasi kita?
Term komunikasi lainnya dalam Islam, yang secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai berikut, qaulan maisyura (perkataan lembut dan
melegakan), qaulan ma’rufan (perkataan baik yang sesuai dengan kondisi pihak –
pihak yang berkomunikasi), qaulan layyinan (perkataan baik yang disertai
penguatan dengan contoh), qaulan syadiidan (perkataan argumentatif dan
menguatkan) adalah keragaman pola dan prinsip komunikasi yang secara
substansial menunjukkan metode yang berbeda untuk konteks dan tujuan yang
berbeda pula. Namun semua metode harus tetap berdasarkan pada substansi yang
dibenarkan oleh Islam. Bagaimana implementasi yang tepat untuk setiap metode
komunikasi ? Bagaimana Rasulullah Saw mengamalkan perintah – perintah Allah Swt
dalam setiap konteks dan masalah yang terkait, begitulah implementasinya.
Salah satu metode komunikasi lainnya yang cukup penting
diuraikan lebih rinci dalam konteks sebagai pengingat untuk dihindari adalah
qaulan zuura (perkataan dusta).
Dalam Al qur’an, Allah Swt berfirman: Demikianlah (perintah
Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka
itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu
semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta. (QS Al-Hajj 22 : 30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang berbuat baik
dengan meninggalkan yang haram dan melaksanakan yang halal, akan tetapi tidak
menjauhi syirik dan perkataan dusta, maka perbuatan baik tersebut tidak
memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya.
Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta hakikatnya
sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu.
Dimaknai sebagai perkataan dusta, karena menyimpang/melenceng dari yang
semestinya atau yang dituju, yang oleh sebagian ulama ditafsirkan sebagai
mengharamkan yang halal atau sebaliknya
menghalalkan yang haram; serta ber-saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana
dikutip oleh al-Razi, bersabda , ‘Saksi palsu itu sebanding syirik’. Dalam
kaitan ini menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang
memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar.
Karena itu, dalam Islam mengajarkan pula bagaimana membangun
komunikasi beradab dalam konteks melakukan komunikasi dengan memegang prinsip
akhlaqul karimah. Membangun komunikasi beradab tersebut paling tidak didasarkan
kepada 3 (tiga) aspek, yaitu
Komunikasi dan pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, maka Islam memandang komunikasi harus
mengandung aspek pendidikan yang ditekankan kepada pengembangan karakter atau
akhlaq. Pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer
ilmu. Sehingga di dalam Islam dikenal istilah tarbiyah yang didefinisikan oleh
al-Ishfahani sebagai upaya mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada
kesempurnaannya.
Dalam hal ini harus dipahami bahwa komunikasi bukanlah
bersifat indoktrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat
komunikatif dan membangun (konstruktif). Di sini proses komunikasi pendidikan
tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu
arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak
terutama pihak pendidik, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan
yang baik, sebagai upaya ber-metakomunikasi.
Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan
pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu
kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh
karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat, seharusnya menerapkan
prinsip-prinsip qaulan baligha yaitu bahasanya tepat,dan isi perkataan adalah
suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat provokatif dan manipulatif. Di
sinilah, keluhuran akhlak komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks
membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak
tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami,
bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan
karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius dalam konteks
destruktif, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya
justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi masyarakat demi memenuhi
ambisinya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun
berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain
aku…". Melalui perkataannya, Fir'aun ingin mempengaruhi pikiran dan jiwa
masyarakat, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada
kenyataannya ‘hanya’ dialah yang bisa menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat
Mesir saat itu.
Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat
Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya.
Dan Ia menggunakan ‘kekuasannya’ untuk mengatur kebutuhan masyarakat sesuai
ambisinya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya. Namun sekali
lagi, tidak didasarkan kepada kebenaran yang menjadi tuntunan Islam.
Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti
tuntunan Allah Swt. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dengan baik
menduduki posisi yang strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa
setiap muslim adalah da’i. Sebagai da'i, ia senantiasa dituntut untuk mau dan
mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam
mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius
dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Firman Allah Swt:Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali-Imran 3 :
104)
Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota
masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan,
memerintahkan dengan ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Bukan tanpa sengaja
jika ayat ini mendahulukan, menyeru kepada kebajikan dari pada menyuruh kepada
yang ma’ruf . Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti
yang sama. Namun oleh para ahli tafsir, kata kebajikan dipahami sebagai
kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian
sosial, ketertiban, perdamaian, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebagai bagian
dari masyarakat, umat muslim mempunyai komitmen untuk peduli terhadap segala
bentuk perilaku anti sosial. Umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan
untuk menyeru, sekaligus memberi keteladanan.
Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw
sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan
dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa.
Dengan bersandar kepada kekuatan dan pertolongan dari Allah Swt semata, dari
aspek manusiawi ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks
keberhasilan dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan
beliau dalam melakukan komunikasi atas ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik
dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri.
Jika kita telusuri sirah (sejarah) Rasulullah Saw, maka akan
dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi
dalam al-Qur'an, sebagaimana diuraikan, secara konsisten. Adakah kita sebagai
ummatnya selalu berusaha menjadikan Rasulullah Saw sebagai model dan tauladan?
Wallahu’alam bish shawabhttp://mtua.rekayasa.co.id/index.php/taujih/pekanan/223-komunikasi-dalam-islam-1.html
Sumber yang pdf http://idb2.wikispaces.com/file/view/ok2013.pdf
PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI MENURUT AL-QURAN
Mei 1, 2010
Choir Amri
Tinggalkan komentar
Go to comments
Direduksi dari Jalaluddin Rakhmat
AL-QURAN menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah
manusia. Al-Quran memberikan kata kunci (key concept) yang berhubungan dengan
hal itu. Al-Quran adalah al-Qaul. Dengan memperhatikan kata qaul dalam konteks
perintah (amr), kita dapat menyimpulkan enma prinsip komunikasi: qaulan sadidan
(QS. An-Nisaa: 9, Al-Ahzab:70). Qaulan balighan (QS. An-Nisaa: 63), qaulan
ma’rufan (QS An-Nisaa: 5), qaulan kariman (QS. Al-Israa: 23), qaulan layyinan
(QS. Thaahaa: 44), dan qaulan maysuran (QS. Al-Israa: 28).
PRINSIP QAULAN SADIDAN
Qaulan Sadidan artinya pembicaraan yang benar, jujur, lurus,
tidak bohong, dan tidak berbeli-belit. Kata qaulan sadidan disebut dua kali
dalam Al-Quran. Pertama, Allah menyuruh manusia menyampaikan qaulan sadidan
dalam urusan anak yatim dan keturunan. Kedua, Allah memerintahkan qaulan
sadidan sesudah takwa.
Alferd Korzybski, peletak dasar teori general semantics menyatakan
bahwa penyakit jiwa , baik individual maupun sosial, timbul karena penggunaan
bahasa yang tidak benar. Ada beberapa cara menutup kebenaran dengan komunikasi.
Pertama, menggunakan kata-kata yang sangat abstark, ambigu, atau menimbulkan
penafsiran yang sangat berlainan apabila kita tidak setuju dengan pandangan
kawan kita.
Kedua, menciptakan istilah yang diberi makna lain berupa
eufimisme atau pemutarbalikan makna terjadi bila kata-kata yang digunakan sudah
diberi makna yang sama sekali bertentangan dengan makna yang lazim.
Tidak Bohong
Arti kata dari qaulan sadidan adalah tidak bohong. Nabi
Muhammad saw bersabda, “Jauhi dusta, karena dusta membawa kamu pada dosa, dan
dosa membawa kamu pada neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa
kamu pada kebajikan, membawa kamu pada surga”. Al-Quran menyuruh kita selalu
berkata benar, supaya kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah.
Bahaya Bohong
Nabi Muhammad saw – dengan mengutip Al-Quran – menjelaskan
bahwa orang beriman tidak akan berdusta. Dalam perkembangan sejarah, umat Islam
sering dirugikan karena berita-berita dusta. Yang paling parah ketika bohong
memasuki teks-teks suci yang menjadi rujukan. Kebohongan tidak berhasil
memasuki Al-Quran karena keaslian Al-Quran dijamin oleh Allah.
PRINSIP QAULAN BALIGHAN
Kata baligh berarti fasih, jelas maknanya , terang, tepat
mengungkapkan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu, prinsip qaulan balighan
dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif.
Berikut ini perincian Al-Quran tentang qaulan balighan.
Qaulan balighan terjadi bila komunikator menyesuaikan
pembicaraannya dengan sifat-sifat komunikan. Dalam istilah Al-Quran, ia
berbicara fi anfusihim (tentang diri mereka). Dalam istilah sunah, “Berkomunikasilah
kamu sesuai dengan kadar akal mereka”. Pada zaman modern, ahli komunikasi
berbicara tentang frame of reference dan field experience. Komunikator baru
efektif bila ia menyesuaikan pesannya dengan kerangka rujukan dan medan
pengalaman komunikannya.
Qaulan balighan terjadi bila komunikator menyentuh komunikan
pada hati dan otaknya sekaligus. Aristoteles pernah menyebut tiga cara yang
efektif untuk memengaruhi manusia, yaitu ethos, logos dan pathos. Dengan ethos
(kredibilitas komunikator), kita merujuk pada kualitas komunikator. Komunikator
yang jujur, dapat dipercaya, memiliki pengetahuan tinggi, akan sangat efektif
untuk memengaruhi komunikannya. Dengan logos (pendekatan rasional), kita
meyakinkan orang lain tentang kebenaran argumentasi kita. Kita mengajak mereka
berpikir, menggunakan akal sehat, dan memimbing sikap kritis. Kita tunjukan
bahwa kita benar karena secara rasional argumentasi kita harus diterima. Dengan
pathos (pendekatan emsional), kita bujuk komunikan untuk mengikuti pendapat
kita.kita getarkan emosi mereka, kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka,
kita redakan kegelisahan dan kecemasan mereka.
PRINSIP QAULAN MA’RUFAN
Kata qaulan ma’rufan disebutkan Allah dalam Al-Quran
sebanyak lima kali. Pertama, berkenaan dengan pemeliharaan hrta anak yatim.
Kedua, berkenaan dengan perkataan terhadap anak yatim dan orang miskin.
Ketiga, berkenaan dengan harta yang diinfakkan atau
disedekahkan kepada orang lain. Keempat, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan
Allah terhadap istri Nabi. Kelima, berkenaan dengan soal pinangan terhadap
seorang wanita.
Kata ma’rufan dari kelima ayat tersebut, berbentuk isim
maf’ul dari kata ‘arafa, bersinonim dengan kata al-Khair atau al-Ihsan yang
berarti baik.
Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan betapa
pentingnya berbicara yang baik dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun,
dengan sarat pembicaraannya itu akan mendatangkan pahala dan manfaat, baik bagi
dirinya sebagai komunikator maupun bagi orang yang mendengarkan sebagai
komunikan.
Kriteria Kebaikan
Aristoteles (Ibnu Miskawiah, 1994: 90) mengatakan bahwa
kebaikan itu dapat dibagi menjadi:
Kebaikan mulia adalah kebaikan yang kemuliaannya berasal
dari esensinya, dan membuat orang yang mendapatkannya menjadi mulia. Itulah
kearifan dan nalar.
Kebaikan terpuji adalah kebaikan dan tindakan sukarela yang
positif.
Kebaikan potensial adalah kesiapan memperoleh kebaikan mulia
dan kebaikan terpuji.
Kebaikan yang bermanfaat adalah segala hal yang diupayakan
untuk memperoleh kebaikan-kebaikan lainnya.
Kebaikan itu dapat pula dikategorikan, sebagai berikut:
Kebaikan substantif, yaitu kebaikan bukan terjadi kemudian,
melainkan sudah bersamaan dengan Allah. Allah adalah kebaikan pertama karena
segala sesuatu mengarah kepada-Nya, mendambakan-Nya, untuk memperoleh kebaikan
Ilahi sperti kekekalan, keabadian dan kesempurnaan.
Kebaikan kuantitas, yaitu kebaikan yang berkenaan dengan
angka bilangan dan jumlahnya yang memdai.
Kebaikan yang berkenaan dengan kualitas, yaitu kenikmatan.
PRINSIP QAULAN KARIMAN
Kata qaulan kariman dalam Al-Quran disebutkan hanya satu
kali, yaitu dalam surat Al-Israa’ ayat 23.
Substansi ayat tersebut, paling tidak mengandung dua hal,
yakni: (1) berkenaan dengan tuntunan berakhlak kepada Allah, dan (2) berkenaan
dengan tuntunan berakhlak kepada kedua orang tua. Menurut Hamka (1999: 63),
dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa akhlak kepada Allah merupakan pokok
etika sejati, sebab hanya Allah semata yang berjasa kepada kita, yang
menganugerahi hidup kita, memberi rezeki.
Tuntunan akhlak kepada kedua orang tua, antara lain:
keharusan berbakti kepada orang tua, dan mengurus orang tua di saat mereka
sudah usia lanjut. Jika seorang anak mengikuti perintah Allah ini, ia akan
selamat di dunia dan di akhirat.
Kriteria Qaulan Kariman
Kata-kata bijaksana (fasih, tawaduk): yaitu kata-kata yang
bermakna agung, teladan, dan filosofis. Dalam hal ini, Nabi saw sering
menyampaikan nasihat kepada umatnya dengan kata-kata bijaksana.
Kata-kata berkualitas: yaitu kata-kata yang bermakna dalam,
bernilai tinggi, jujur, dan ilmiah. Kata-kata seperti ini sering diungkapkan
oleh orang-orang cerdas, berpendidikan tinggi, dan filsuf.
Kata-kata bermanfaat:
yaitu kata-kata yang memiliki efek positif bagi perubahan sikap dan
perilaku komunikan. Kata-kata seperti ini sering diucapkan oleh orang-orang
terhormat sperti kiai, guru, dan orang tua.
PRINSIP QAULAN LAYYINAN
Kata qaulan layyinan hanya satu kali disebutkan dalam
Al-Quran (QS. Thaahaa: 44)
Ayat tersebut merupakan perintah Allah swt kepada Nabi Musa
dan Nabi Harun untuk mendakwahkan ayat-ayat Allah kepada Firaun dan kaumnya.
Firaun sebagai seorang Raja Mesir memiliki watak keras, sombong, dan menolak
ayat-ayat Allah, bahkan menantang Allah denagn mengaku sebagai Tuhan.
Nabi Muhammad saw mencotohkan kepada kita bahwa beliau
selalu berkata lemah lembut kepada siapa pun, baik kepada keluarganya, kepada
kaum muslimin yang telah mengikuti nabi, maupun kepada manusia yang belum
beriman.
Dalam konteks komunikasi, model komunikasi demikian disebut
komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil mencapai tujuan dengan feedback
yang positif. Wilbur Schramm menuliskan apa yang dinamakan the condition of
success in communication (kondisi suksenya komunikasi). Suksesnya sebuah proses
komunikasi paling tidak harus memiliki dua persyaratan, yaitu :
Ditinjau dari pesannya:
- Pesan harus
direncanakan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian
komunikan.
- Pesan harus
menggunakan lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara
komunikator dan komuniakan.
- Pesan harus
membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan mengarahkan beberapa cara untuk
memperoleh kebutuhan tersebut.
- Pesan harus
menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi
di mana komuniakn berada pada saat ia digerakan untuk memberikan tanggapan yang
dikehendaki.
- Pesan harus
menggunakn kata-kata yag sederhana , halus, lembut, dan tidak ambigu.
Ditinjau dari komunikatornya haruslah memiliki dua kriteria
yakni:
Source credibility, artinya komunikator harus memiliki
keahlian tentang masalah yang sedang dibicarakan. Menurut Devito (1997: 459)
terdapat tiga kriteria kredibilitas seorang komunikator, yaitu:
Tunjukkan kepada khalayak pengalaman dan pendidikan yang
membuat kita layak membicarakan topik ini.
Kutip beragam sumber riset. Buatlah khalayak melihat bahwa
kita telah meriset topik ini secara mendalam.
Tekankan kompetensi khusus sumber kita jika khalayak tidak
mengenalnya.
Tekankan kompetensi kita,bukan ketidakmampuan kita.
Seorang komunikator harus memperlihatkan keahliannya ketika
berdialog dengan khalayak. Seorang komunikator akan memiliki kredibilitas
apabila ia berbicara tentang bidang yang tidak dikuasainya. Sebaliknya kalau
seseorang bebicara tentang sesuatu yang
tidak dikuasainya, ia tidak mempunyai kredibilitas apapun.
Source attractiveness atau daya tarik komunikator.
Komunikator akan memiliki daya tarik yang cukup kuat
manakala ia dapat menunjukkan keikutsertaannya bersama komunikan dalam
hubungannya dengan opini secara memuaskan. Untuk membangun daya tarik, menurut
Devito (1997: 461) paling tidak terdapat empat kriteria penting harus dipenuhi
komunikator, yaitu:
Tekankan kejujuran dan sikap tidak memihak. Bila menyampaikan
pembicaraan persuasif, tekankan bahwa kita telah menelaah masalah secara akurat
dari semua sisi dan tidak memihak.
Tekankan kepedulian kita pada nilai-nilai yang kekal.
Tegaskan kepada khalayak bahwa posisi kita, tesis kita berkaitan dengan nilai-nilai
yang luhur.
Tekankan kesamaan kita dengan khalayak, terutama
kepercayaan, sikap, nilai, tujuan, dan kepentingan kita dengan khalayak.
Tekankan kepedulian kita akan kesejahteraan khalayak
pendengar.
Demikianlah kiat berkomunikasi yang efektif, yang dapat
dijadiak pegangan bagi semua orang.
PRINSIP QAULAN MAYSURAN
Kata qaulan maysuran hanya satu kali disebutkan dalam
Al-Quran, QS. Al-Israa’: 28.Berdasarkan sebab-sebab turunnya (ashab
al-nuzulnya) ayat tersebut, Allah memberikan pendidikan kepada nabi Muhammad
saw untuk menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana dalam menghadapi keluarga
dekat, orang miskin dan musafir.
Secara etimologis, kata maysuran berasal dari kata yasara
yang artinya mudah atau gampang (Al-Munawir,1997: 158). Ketika kata maysuran digabungkan
dengan kata qaulan menjadi qaulan maysuran yang artinya berkata dengan mudah
atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah kata-kata yang digunakan
mudah dicerna, dimengerti,, dan dipahami oleh komunikan.
Salah satu prinsip komunikasi dalam Islam adalah setiap
berkomunikasi harus bertujuan mendekatkan manusia dengan Tuhannya dan
hamba-hambanya yang lain. Islam mengharamkan setiap komunikasi yang membuat
manusia terpisah dari Tuhannya dan hamba-hambanya.
Seorang komunikator yang baik adalah komunikator yang mampu
menampilkan dirinya sehingga disukai dan disenangi orang lain. Untuk bisa
disenangi orang lain, ia harus memiliki sikap simpati dan empati. Simapti dapat
diartikan dengan menempatkan diri kita secara imajinatif dalam posisi orang
lain (Bennett, dalam Mulyana, 1993: 83).
Namun dalam komunikasi, tidak hanya sikap simpati dan empati
yang dianggap penting karena sikap tersebut relatif abstrak dan tersembunyi,
tetapi juga harus dibarengi dengan pesan-pesan komunikasi yang disampaikan
secara bijaksana dan menyenangkan. http://mantanresidivis.wordpress.com/2010/05/01/prinsip-prinsip-komunikasi-menurut-al-quran/
PRINSIP QAWLAN SADIDAN
Kata qawlan sadidan
disebut dua kali dalam Al-Qur'an.Pertama, Allah
menyuruh manusia
menyampaikan qawlan sadidan dalam urusan anak yatim dan
keturunan: " Dan
hendaklah orang-orang takut kalau-kalau di belakang hari,
mereka meninggalkan
keturunan yang lemah yang mereka khawatirkan
(kesejahteraannya).Hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan berkata
dengan qawlan
sadidan."
Kedua, Allah
memerintahkan qawlan sadidan sesudah takwa: Hai
orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah qawlan
sadidan.Nanti Allah
akan membaikkan amal-amal kamu, mengampuni dosa
kamu.Siapa yang taat
kepada Allah dan RasulNya ia mencapai keberuntungan
yang besar.
Apa arti qawlan
sadidan? Qawlan sadidan artinya pembicaraan yang
benar, jujur (Pitchall
menerjemahkannya "Straight to the point"), lurus,
tidak bohong, tidak
berbelit-belit.Prinsip komunikasi yang pertama menurut
Al-Qur'an adalah
berkata benar.Ada beberapa makna dari pengertian benar.
Arti pertama benar
ialah sesuaidengan kriteria kebenaran.Untuk orang
Islam, ucapan yang
benar tentu ucapan yang sesuai dengan Al-Qur'an, Al
Sunnah, dan ilmu.
Al-Qur'an menyindir keras orang-orang yang berdiskusi
tanpa merujuk kepada
Al-Kitab, petunjuk, dan Ilmu: Diantara manusia ada
yang berdebat tentang
Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab yang menerangi
(Qs 31:20).
Al-Qur'an menyatakan
bahwa berbicara yang benar-menyampaikan pesan
yang benar- adalah
prasyarat untuk kebenaran (kebaikan, kemaslahatan) amal.
Bila kita ingin
menyukseskan karya kita, bila kita ingin memperbaiki
masyarakat kita, kita
harus menyebarkan pesan yang benar.Dengan perkataan
lain, masyarakat
menjadi rusak bila isi pesan komunikasi tidak benar, bila
orang menyembunyikan
kebenaran karena takut menghadapi establishment .
Rezim yang menegakkan
sistemnya di atas penipuan atau penutupan kebenaran -
menurut Al-Qur'an-
tidak akan bertahan lama.
Alfred Korzybski,
peletak dasar teori general semantics, menyatakan
bahwa penyakit jiwa -
individual maupun sosial - timbul karena menggunakan
bahasa yang yidak
benar.Makin gila seseorang makin cenderung ia menggunakan
kata-kata yang salah
atau kata-kata yang menutupi kebenaran.Ada beberapa
cara menutupi
kebenaran dengan komunikasi.Pertama, menutupi kebenaran
dengan menggunakan
kata-kata yang sangat abstrak, ambiguitas, atau
menimbulkan
penafsiran yang sangt berlainan.Bila anda tidak setuju dengan
pandangan kawan anda,
anda segera menyebut dia "tidak Pancasilais". Anda
sebetulnya tidak
tahan kritik, tetapi karena tidak enak menyebutkannya,
anda akan berkata,
" Saya sangat menghargai kritik, tetapi kritik itu harus
disampaikan secara
bebas dan bertanggung jawab." Kata "bebas" dan
"bertanggung
jawab" adalah kata abstrak untuk menghindari kritik.Ketika
seorang muballigh
menemukan pendapat muballigh lain logis dan pendapatnya
tidaklogis, ia
berkata, "Akal harus tunduk kepada agama." Ia sebetulnya mau
mengatakan bahwa
logika orang lain itu harus tunduk kepada pemahamannya
tentang agama. Akal dan
agama adalah dua kata abstrak.Karena itu
menasihatkan agar
kita berhati-hati dalam menggunakan kata-kata abstrak.
Kedua, orang menutupi
kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberi
makna yang
lain.Istilah itu berupa eufemisme atau pemutarbalikan makna sama
sekali.Pejabat
melaporkan kelaparan di daerahnya dengan mengatakan "kasus
kekurangan gizi"
atau "rawan pangan". Ia tidak dikatakan "ditangkap",
tetapi
"diamankan". Harga tidak dinaikkan tetapi "disesuaikan".
Anak Bapak,
kata Bapak Guru,
tidak bodoh, cuma lambat belajar saja.Pemutarbalikan makna
terjadi bila
kata-kata yang digunakan sudah diberi makna yang sama sekali
bertentangan dengan
makna yang lazim.Operasi untuk menertibkan pedagang
asongan kita sebut
Operasi Esok Penuh Harapan.Proyek yang hanya
menguntungkan
segelintir orang kita katakan untuk kesejahteraan rakyat
banyak.Dan judi
massal kita sebut sebagai sumbangan dana sosial berhadiah.
Al-Qur'an mengajarkan
bahwa salah satu strategi memperbaiki masyarakat
ialah membereskan
bahasa yang kita pewrgunakan.Bahasa harus kita pergunakan
untuk mengungkapkan
realitas, bukan untuk menyembunyikannya.
Arti kedua dari
qawlan sadidan adalah ucapan yang jujur, tidak
bohong.Nabi Muhammad
saw, bersabda, "Jauhi dusta, karena dusta membawa kamu
kepada dosa , dan
dosa membawa kamu kepada neraka.Lazimkanlah berkata
jujur, karena jujur
membawa kamu kepada kebajikan dan membawa kamu kepada
surga."
Ketika Abu Dzar masuk
Islam, ia dibaiat Nabi untuk berkata benar
walaupun pahit. Di
zaman Utsman, ia mengkritik para pejabat yang
korup.Ketika orang
disuruh menyanjungkan pujian, Abu Dzar menyampaikan
kecaman. Ia tidak mau
berdusta. Ia diusir ke Rabadzah dan meninggal dunia
di tempat
pengasingan. "Dibawah kolong langit ini tidak ada lidah yang
lebih jujur dari
lidah Abu Dzar!" kata Nabi saw. Masih pada zaman
Mu'awiyah,
khatib-khatib dianjurkan untuk melaknat Ali. Ali bin Abi Thalib
harus disebut sebagai
orang murtad, pendusta, dan kafir. Hujur bin Adi dan
kawan-kawan tidak mau
melakukannya. Mereka tahu Ali sahabat Nabi yang
mulia, pintu ilmu
Rasulullah. Mu'awiyah kemudianmenghukum mati mereka. Ada
di antara mereka yang
dikubur hidup-hidup.
Supaya kita tidak
meninggalkan keturunan yang lemah, Al-qur'an
menyuruh kita selalu berkata
benar. Anak-anak dilatih berkata jujur.
Kejujuran melahirkan
kekuatan. Kebohongan mendatangkan kelemahan. Biasa
berkata benar
mencerminkan keberanian. Bohong sering lahir kaena rendah
diri, pengecut, dan
ketakutan. abu Darda bertanya, "Ya Rasulullah,
mungkinkah mukmin
mencuri?" Kata Nabi : " Ya, kadang-kadang". Ia bertanya
lagi:
"Mungkinkah mereka berzina?" Kata Nabi: "Mungkin saja." Ia
bertanya
lagi :
"Mungkinkah ia berdusta?" Nabi menjawab dengan ayat Al-Qur'an, "
Yang membuat-buat
kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tak beriman
kepada ayat-ayat
Alloh, Mereka itulah pendusta " (Qs 16:105)
Nabi Muhammad saw -
dengan mengutip Al-Qur'an- menjelaskan bahwa orang
beriman tidak akan
berdusta. Dalam perkembangan sejarah, ummat Islam sudah
sering dirugikan
karena berita-berita dusta. Yang paling parah terjadi,
ketika bohong
memasuki teks-teks suci yang menjadi rujukan. kebohongan
tidak berhasil
memasuki Al-Qur'an karena keaslian Al-Qur'an dijamin Allah
(juga karena kaum
Muslim hanya memilki satu mush-haf Al-Qur'an). Tetapi
kebohongan telah
menyusup kedalam penafsiran Al-Qur'an. Makna Al-Qur'an
pernah disimpangkan
untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Kebohongan juga
memasuki hadis-hadis Nabi saw. Walaupun berdusta atas
nama Nabi diancam
dengan neraka, sepanjang sejarah ada saja orang yang
berwawancara imajiner
dengan Nabi. Belakangan ada orang melakukan wawancara
imajiner dengan para
sahabat yang mulia. Mereka menisbahkan kepada Nabi dan
sahabat-sahabatnya
prasangka, fanatisme, dan kejahilan mereka. Para ahli
hadis menyebut berita
imajiner ini sebagai hadits mawdhu' . Para penulisnya
atau pengarangnya
disebut al-wahdha atau al-kadzab (pendusta). Pada zaman
sahabat, ada
murid-murid sahabat yang terkenal pendusta. Diantaranya
Ikrimah dan Muqatil
bin Sulaiman. Ikrimah, misalnya, banyak menisbahkan
pendapatnya kepada
Ibnu Abbas. Karena Ibnu Abbas terkenal sebagai penafsir
Al-Qur'an, banyak
paham Ikrimah disebut sebagai tafsir Ibnu Abbas. Ka'ab
Al-Ahbar banyak
memasukkan mitos-mitos Yahudi dan Nasrani dalam tafsir.
Kelak para ulama
menyebutnya sebagai Israiliyyat.
Berita-berita dusta
tentang Nabi sangat berbahaya, karena umat Islam
merujuk kepada Nabi
dalam perilaku mereka. sunnah Nabi menjadi dasar hukum
yang kedua setelah
Al-Qur'an. Memalsukan hadis Nabi berarti memalsukan
ajaran Islam.
Menyebarkan hadits mawdhu' telah banyak mengubah ajaran
Islam.
Imam syafi'i
bercerita tentang Wahab bin Kays'an. Ia berkata : " Aku
melihat Abdullah bin
Zubayr memulai shalat (jum'at) sebelum khutbah. Semua
sunnah Rasulullah
saw. sudah diubah, bahkan shalat pun." (Al-Umm 1:208).
Al-Zuhri - seorang
tabi'in - menemukan sahabat Anas bin Malik menangis.
Ketika ditanya
mengapa ia menangis, Anas menjawab : " Sudah tidak aku kenal
lagi agama Islam
sekarang ini kecuali shalat saja. Itu pun sudah
dilalaikan."
(Duha Al-Islam 1:365). Begitu banyaknya perubahan ajaran Islam
akibat pemalsuan
hadis, sampai Hasan Al-Basri memberi komentar tentang
zamannya, "
Sekiranya sahabat-sahabat Nabi itu keluar mendatangi kalian,
mereka tidak akan
mengenal kalian kecuali kiblatnya saja." ( Jami' Bayan
Al-Ilm 2:244)
Untuk memperoleh
ajaran Islam yang sejati, para ulama kemudian
mengembangkan
ilmu-ilmu hadis. Mereka melakukan kritik hadis lewat tiga
kritik. Pertama,
kritik rawi. Mereka memeriksa kejujuran dan daya hapal
para periwayat hadis.
Kalau periwayatnya hanya sejenis pewawancara
imajiner, hadisnya
disebut mawdhu'. Bila periwayatnya kurang bagus daya
hapalnya, hadisnya
disebut dha'if. Kedua, kritik sanad. Urutan periwayat
hadis itu haruslah
bersambung, tidak terputus. Salah seorang saja hilang
(missing link),
hadisnya dinyatakan terputus (munqathi' atau mursal).
Ketiga matan. Isi
hadis harus diuji dengan Al-Qur'a, atau diverifikasi
dengan data historis
lainnya. Hadisnya disebut hadits mutawatir.
Karena itu, ilmu-ilmu
hadis sangat berharga untuk memelihara kemurnian
Islam. Studi kritis
terhadap sejarah Rasulullah akan disambut oleh setiap
Muslim yang mencintai
kebenaran; dan sekaligus dibenci oleh orang-orang
yangmau mencemari
Islam. Penelitian terhadap hadis harus dilanjutkan dalam
rangka mempraktekkan
prinsip qawlan sadidan.
bersambung.........(PRINSIP QAWLAN BALIGHAN)
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/message/4176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar